Seorang pria datang memasuki sebuah waralaba. Pria itu kusut masai, dengan wajah yang tak kalah suram. Bel penanda pelanggan datang berbunyi, “ting tong!” “Butuh apa?” Tanya penjaga toko berperut gendut dan berbau apak. “Tawa.” Lalu sang penjaga toko mengeluarkan strip kecil. “Ini Dex***amphetamine. Harganya satu jiwamu.” Sang lelaki tertunduk sedih. “Aku tidak mampu membayar sebanyak
Browsing tag: cerpen
Bulatan sempurna bersiap menurunkan layar. Semburat sang mega menjadi layar megah panggung senja. Garis horizon bersiap memeluk Sang surya bagaikan ending drama yang berakhir tragis. Menyedihkan. “Kamu seperti senja. Aku tidak menyukainya.” Selorohku memecah keheningan. “Aku? Senja? Aku suka senja. Indah menurutku.” Tangannya merangkul bahuku dan aku seperti melebur di dalam hangatnya. “Senja itu mempermainkan
Satu. Aku mulai menghitung dalam hati. Tanganku gemetar mencengkram tali kasar yang membelit leherku. Kali ini aku pasti berhasil. Dua. Dahan pohon ini pasti akan kuat menahan tubuhku. Membuat aku iri. Aku sendiri tidak lagi mampu menanggung deraan ujian hidup yang bertubi-tubi. Kehilangan yang meninggalkan aku di ujung ruangan bernama kesendirian. Tiga. Aku melangkahkan kakiku
Lidahku kelu, bagai seorang pandir yang menerangkan cara kerja bohlam kepada seorang Edison. Bedanya Edison-ku berambut coklat dan bersetelan Armani. Aku berharap tidak ada kamera yang terarah kepadaku, terutama ketika mulutku megap-megap seperti ikan. Di hadapan mata hazel-nya aku selalu tidak berdaya. Ada kekuatan magis yang dimiliki sepasang mata itu hingga tidak pernah dalam sepuluh
Kau pernah merasakan mencintai seseorang namun kau tidak bisa mengungkapkan? Hanya memandangi punggungnya dari jauh, melihat senyumnya saat dia jatuh cinta (yang tentu saja bukan padamu), lalu obrolan-obrolan panjang hingga pagi yang tidak tentu arah, itu semua sudah membuatmu bahagia. Kau pernah berulang kali ingin mengatakan betapa kau mencintainya dan berharap dia juga akan mencintaimu?