Senja Tiga Warna
Satu.
Aku mulai menghitung dalam hati. Tanganku gemetar mencengkram tali kasar yang membelit leherku. Kali ini aku pasti berhasil.
Dua.
Dahan pohon ini pasti akan kuat menahan tubuhku. Membuat aku iri. Aku sendiri tidak lagi mampu menanggung deraan ujian hidup yang bertubi-tubi. Kehilangan yang meninggalkan aku di ujung ruangan bernama kesendirian.
Tiga.
Aku melangkahkan kakiku dan bersiap meloncat ketika ada suara yang membuatku hampir kehilangan keseimbangan.
“Kau tidak akan mati kalau loncat begitu.” Suaranya manja tanpa ada rasa panik yang terdengar. Seakan setiap hari dia melihat orang yang akan menggantung dirinya di sini.
“Jangan cegah aku meloncat!” malah aku yang sekarang terdengar panik.
Dia membalikan badannya dan mengangkat bahunya tidak peduli.
“Terserah kau saja. Ketinggian dahan itu kurang jika kau mau bunuh diri. Paling kau cuma akan sesak tercekik dan meronta panik sampai dahan itu patah.” Lalu dia melangkah dan mulai mendekati pohon Bougenville yang sedang berbunga.
Keraguan mulai menggoyahkan pendirianku. Tekad menghabisi nyawa tenggelam bersama mentari yang memerah di garis horizon. Kulihat gadis itu berjalan menjauh, sekarang nampak tertarik pada pohon bunga mawar. Aku lepaskan ikatan di leher dan menuruni pohon secepat yang ku bisa.
“Dari mana kau tahu aku tidak akan mati jika aku melompat dari sana?”
Gadis itu tersenyum lembut pada sekuntum mawar yang masih kuncup. “Sebentar lagi kau akan mekar. Pasti akan terlihat indah.” Lalu dia menjauhiku seolah tidak mendengarku.
“Hei!” panggilku. Setengah berlari aku menyamakan langkahku. Meski tubuh gadis itu kecil, namun langkahnya cukup cepat. Aku berhenti di depannya, menghalanginya agar dia tidak dapat menghindariku. “Aku tadi bertanya, kenapa kau bisa tahu aku tidak akan mati jika melompat dari dahan itu?”
Akhirnya gadis itu memandang tepat ke mataku. “Aku tidak tahu. Hanya tebakan.”
Aku terpaku dalam keterkejutanku. Butuh beberapa detik sampai otakku mencerna kata-katanya barusan. Aku ditipu mentah-mentah oleh seorang gadis yang tampaknya lebih muda dariku. Paling umurnya sebelas atau dua belas. Tingginya saja tidak mencapai bahuku.
Dengan kemarahan yang memuncak, aku mendatanginya bersiap untuk melontarkan makian paling kasar yang ada dalam kosa kataku. Aku tidak pernah diperbolehkan mengucapkan kata kasar atau berkata tidak sopan, terutama pada wanita, tetapi aku mempelajari beberapa teman-teman kakakku.
Baru saja aku menarik nafas, gadis itu mendahuluiku. “Lihat itu, langitnya indah.”
Kata-kata tertambat di tenggorokanku, menghilang tertelan seiring lidahku yang tercekat melihat pemandangan di hadapanku. Semburat warna jingga menari di langit yang mulai gelap. Seolah sedang mencuri perhatian manusia, tidak rela gelap malam menggantikannya begitu saja. Merah merekah di ubun-ubun matahari, mencoba mengucapkan perpisahan pada hari dengan anggukan anggun bak seorang pemain teater.
“Senja selalu mengingatkanku pada kehidupan. Hidup itu ada terang, ada gelap. Ketika gelap mulai menghampirimu, itulah saatnya kau harus diam dan bersyukur karena pernah merasakan terang. Bertahan sebentar karena ketika saatnya tiba, cahaya akan muncul lagi untuk membuatmu merasa lebih baik.” Kalimat itu mengalir lancar, seolah-olah menasehatiku.
“Siapa namamu?” hanya itu yang bisa aku lontarkan padanya. Setidaknya aku harus tahu siapa nama gadis yang menyelamatkan hidupku.
“Salma. Orang-orang memanggilku Salma.” Wajahnya masih menatap lurus ke depan. tanganku terjulur untuk menjabat tangannya.
“Namaku Carlo.” Aku menunggu dia menyambut tanganku, tapi tidak. Huh! Dasar gadis sombong.
Dia berlari kecil menuju ayunan di taman depan asrama. Lampu penerangan sudah mulai menyala. Saat seperti ini, teman-temanku pasti sedang mengantre kamar mandi. Bisa dibilang mereka temanku, meski sejak aku tiba di asrama ini, tidak ada yang menyapaku. Semoga saja pengawas asrama tidak mengetahui aku di sini.
Salma tertawa saat angin membelai wajahnya. Rambutnya berkibar dipermainkan angin. “Biasanya karena aku bertubuh paling kecil, pasti teman-temanku tidak mengizinkanku bermain ayunan.” Tuturnya.
Berkali ayunan membawanya maju mundur. Matanya terpejam seakan merasakan apa yang dikatakan angin di telinganya. Wajahnya cantik dengan jejak-jejak cahaya matahari yang membuat kulitnya berkilau. Senyumnya merekah dengan tulus, sesuatu yang lama tidak aku lihat dari orang-orang di sekitarku.
“Aku tidak pernah melihatmu di sini.” Salma menoleh padaku sambil terus mengayun.
Aku tergagap takut ketahuan sedang memperhatikan wajahnya. “A..Aku baru di sini.”
“Oooh.. pantas aku tidak pernah melihatmu.”
Aku masih penasaran dengan kata-katanya tentang senja tadi. Bagaimana mungkin seorang gadis berumur belasan bisa bicara seperti itu.
“Aku akan katakan padamu, tapi janji kau tidak akan takut padaku?” aku menyanggupinya tapi dia masih terlihat ragu. “Aku tidak punya banyak teman mengobrol, jadi aku tidak mau kau menjauhiku karena ini.” Dia menunduk dan memandang ujung sepatunya.
“Aku berjanji. Aku tahu rasanya tidak memliki teman. Semua orang mulai menjauhimu dan tidak mau mengajakmu bicara hanya karena mereka pikir dirimu aneh. Aku tahu rasanya.” Aku ikut tertunduk. Ingatanku tentang kebakaran yang merenggut seluruh keluargaku membuat air mata mengambang. Aku tidak mau terlihat sedang menangis oleh gadis yang baru aku kenal.
Salma mulai bercerita, rautnya serius namun juga takut. Dengan suara setengah berbisik dia mulai bercerita, “Mereka bilang aku mampu melihat arwah.” Aku terkesiap tapi tidak berani berkomentar. Aku mencoba untuk tidak membuatknya tersinggung dan menghentikan ceritanya. “Aku kadang melihat mereka seperti manusia biasa. Berjalan, berbicara bahkan tidak menyadari kalau mereka sudah mati. Kadang mereka menyapaku dan berbicara padaku. Seperti yang kita lakukan saat ini.”
Seluruh tubuhku kaku. Takut namun penasaran dengan kelanjutan ceritanya. “Lalu, kau tidak takut?”
Salma mengangguk, “Tentu saja pada awalnya aku takut. Tapi aku jadi terbiasa. Dari mereka juga akhirnya aku belajar menghargai kehidupan. Dulu aku selalu berharap untuk mati dalam tidur dan tidak terbangun lagi saat pagi. Aku lelah harus meminum obat setiap hari. Mereka bilang aku gila dan berhalusinasi karena terus menerus melihat sosok menyeramkan. Ternyata mereka tidak seburuk yang aku kira. Kadang mereka hanya kesepian dan menyesali betapa banyak hal baik yang belum mereka lakukan.”
Aku lagi-lagi bungkam. Keheningan muncul di antara kami berdua. Aku sibuk tenggelam dengan kata-kata Selma barusan. Ya, aku bisa melakukan hal-hal baik dengan terus hidup. Jika aku mati bunuh diri, mungkin bisa saja aku menjadi salah satu arwah yang dilihat oleh Salma.
“Bagaimana denganmu?” kali ini giliran Salma yang bertanya. Aku menceritakan segalanya. Mulai dari kebakarang yang merenggut keluargaku dan sejak saat itu aku hanya berharap aku tidak selamat dari kebakaran itu.
“Hari sudah gelap.” Kataku mengakhiri obrolan kami. “Pengawas pasti akan mencari kita jika kita tidak ada saat makan malam.”
Kami berjalan bersisian sepanjang jalan dari taman hingga pintu asrama yang memisahkan asrama putri dan putra. “Sampai jumpa besok, Salma.”
Salma tersenyum manis dan membalas salamku, “Sampai jumpa, Carlo.”
Salma
Ruang rekreasi terasa sangat sesak hari ini. Aku merasa kegerahan dan ingin mandi. Tapi jam-jam seperti ini kamar mandi selalu penuh. Meskipun setiap kamar asrama memiliki satu kamar mandi, selalu anak yang lebih besar yang berhak mandi duluan.
Sebaiknya aku menyelinap saja ke taman depan, ada bunga-bunga yang mekar di sana. Aku selalu suka dengan warna bunga yang beragam. Pengawas asrama biasanya sedang menikmati waktu istirahatnya, jadi aku bisa leluasa.
Aku berpapasan dengan seorang senior. “Hai.” Sapaku. Tapi dia tidak mau repot untuk membalasnya. Malah ada sesosok lelaki tua yang tersenyum ramah di pintu gerbang. Bulu kudukku meremang.
Aku adalah Indigo, itu yang aku baca di buku perpustakaan ketika aku penasaran mengapa aku selalu melihat hal-hal aneh di sekitarku. Sayangnya banyak orang bilang kalau aku ini penyihir, dukun, atau hal mengerikan lainnya yang melekat padaku.
Selama ini buku-buku perpustakaan yang menemaniku ketika aku kesepian. Aku tidak pandai bergaul. Sejak kecil aku sudah terbiasa sendirian. Ibuku meninggalkanku saat aku berumur lima dan ayahku entah siapa. Mereka bilang aku diantarkan dan ibuku memohon agar aku diterima di sekolah ini.
Memang sekolah berasrama ini tidak buruk-buruk amat. Banyak di antara kami adalah anak yatim piatu yang dibiayai gereja untuk bersekolah di sini. Sisanya kebanyakan murid-murid yang orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah. Meski kami sama-sama menjadi tanggungan gereja, setidaknya mereka beruntung memiliki tempat pulang saat libur natal.
Dari sumbangan gereja setiap anak di sini mendapatkan segala yang mereka butuhkan. Tempat tinggal, pakaian, bahkan obat-obatan jika sakit. Mereka dulu memberiku obat setiap hari waktu aku sakit. Tapi aku bosan meminum obat, dan suatu hari mereka berhenti memberiku obat. Mungkin karena sumbangan dari gereja sudah tidak mampu membayar obatku. Setelah itu justru aku merasa makin sehat.
Taman depan asrama selalu sepi ketika senja. Murid-murid takut berada di sini. Soalnya ada kuburan di seberang taman. Kalau aku sih tidak merasa takut. Meskipun kadang-kadang terlihat sosok-sosok yang muncul di sana. Selama mereka tidak ganggu aku, aku sih biasa saja.
Sewaktu aku berjalan menuju pohon Bougenville, aku terkejut setengah mati saat melihat seorang anak laki-laki di atas pohon. Tali tambang besar melilit lehernya, dia seolah bersiap untuk loncat. Oh Tuhan dia akan menggantung dirinya! Sungguh tindakan bodoh!
Kata suster Katerine, rasa penasaranlah yang mampu membunuh singa. Ah aku sudah lupa bagaimana kata mutiara itu. Masa bodohlah yang penting aku harus mencegahnya loncat dari dahan.
“Kau tidak akan mati kalau loncat begitu.” Aku tidak tahu darimana keberanian itu muncul. Hanya mencoba tenang dan membuat anak itu percaya bahwa perbuatannya merupakan hal bodoh. Tentu saja dimanapun bunuh diri adalah perbuatan idiot.
Anak laki-laki itu terlihat bimbang dan tidak jadi melompat. Aku berhasil! Dari ekor mataku aku bisa melihat dia melepaskan lilitan tali dan menuruni pohon ketika aku sedang mengagumi bunga mawar yang masih kuncup. Indah sekali, esok saat bunga ini mekar sempurna, pasti akan makin indah.
Anak laki-laki itu sedikit memaksa aku untuk mengatakan mengapa aku bisa tahu dia tidak akan mati. Aku hanya menjawab asal, “Aku tidak tahu, hanya tebakan.”
Senja menyita perhatianku, sementara anak itu masih gusar dengan apa yang aku katakan. “Lihat itu. Langitnya indah.” Aku mendahuluinya sebelum dia bicara dan melontarkan sumpah serapah karena perbuatanku. Aku terus bercerita betapa aku menyukai senja dan dia kembali terdiam. Ah lelaki memang selalu melakukan tindakan gegabah. Contohnya ayahku. Mereka bilang ayah meninggalkanku karena membuat ibuku hamil di luar nikah. Makanya dia pergi begitu saja, tanpa memikirkan orang yang dia tinggalkan.
“Namaku Carlo.” Dia mengulurkan tangannya dan aku tidak menjabatnya, aku masih kesal karena dia mencoba bunuh diri. Rasa bersalah menyelimutiku karena tidak sopan menolak berjabat tangan saat berkenalan. Biarlah biar dia penasaran, hiburku dalam hati.
Ayunan taman kosong dan tidak dipakai, sudah sejak pagi aku ingin duduk di sini, tapi ayunan selalu dipakai kakak kelasku untuk nongkrong dan tersenyum genit pada anak lelaki yang sedang bermain bola saat istirahat. Aku tertawa senang karena akhirnya aku bisa menggunakannya.
“Siapa yang mengajarimu filosofi senja seperti tadi?” tanya Carlo masih memikirkan kata-kataku tentang senja. Tentu saja aku tahu, dari pengalamanku.
Menjadi anak Indigo itu tidak menyenangkan, kadang kau terbangun dan ada seorang (atau sesosok, karena mereka bahkan bukan manusia) duduk di samping ranjangmu dan meminta tolong ini itu. Kadang mereka hanya memintaku menemani mereka mengobrol karena mereka sangat kesepian. Seperti aku. Kesepian dan tak punya teman.
Dari mereka lah aku belajar menghargai kehidupan. Aku memperhatikan ujung sepatuku sebelum berbicara apa yang membuatku begitu berterima kasih pada-Nya karena memberiku hidup. Aku perhatikan ada lumpur di bagian kanan sepatuku padahal aku sudah membersihkannya tadi.
Aku bercerita sedikit mengenai pengalamanku menjadi seorang Indigo. Sengaja tidak semuanya aku ceritakan. Aku tidak mau membuat Carlo takut. Ini saja sudah membuat dia seperti mau nangis.
Dari ceritanya aku tahu kalau Carlo anak yatim piatu juga kayak aku. Sering berpindah panti asuhan. Aku sih bersyukur karena tidak perlu berada di panti asuhan seperti yang Carlo rasakan. Apa enaknya kalau harus berkenalan lagi dengan orang lain. belum tentu mereka baik sama aku.
Sepertinya Carlo meresapi apa yang kami bicarakan tadi. Karena dia lama terdiam sebelum akhirnya dia mengajakku masuk kembali ke asrama. Semoga saja kami tidak ketahuan pengawas asrama jika kami berkeliaran pukul segini.
“Sampai jumpa, Salma.” Seru Carlo di ujung tangga menuju asrama putra. Aku pun mengucapkan salam serupa.
Kepala Asrama
Aku sedang memanjatkan doa Maria ketika menyaksikan matahari perlahan tenggelam. Melambaikan tangannya kepada langit sebagai tanda perpisahan. Sebentar lagi dia akan mengecup mesra horizon dan mengucapkan selama tidur.
Aku selalu senang berdiri di undakan tangga dan berdoa menghadap matahari saat senja. Seolah Tuhan mengajarkan padaku bahwa Dia mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan tingkat keakuratan yang tidak dapat ditandingi. Setiap garis cahaya matahari yang melukiskan pemandangan indah di cakrawala merupakan garis-garis yang Tuhan goreskan sendiri di kanvas-Nya.
Pertunjukan senja sedang berlangsung saat aku mendapati Carlo sedang duduk di kursi batu samping ayunan. Carlo memang murid baru di asrama, tetapi bukan berarti dia bebas berkeliaran di taman. Tidak ada murid yang boleh keluar bangunan asrama sejak jam 5 sore karena alasan keamanan. Semua murid di sini patuh dengan mudah pada peraturan ini, berkat bantuan desas desus yang beredar.
Mereka percaya bahwa sore seperti ini sering kali muncul penampakan hantu anak kecil di taman depan. Mantan murid asrama yang meninggal dalam tidur akibat penyakit yang dideritanya. Susah payah aku mencoba menghilangkan desas desus itu. Mereka hanya boleh takut pada Tuhannya, bukan berita burung yang bersumber tidak jelas seperti itu.
Aku menuruni tangga dengan gusar sambil mengingan cerita anak-anak mengenai hantu gentayangan itu. Namanya aku lupa. Sambil terus menuruni undakan tangga turun, aku mencoba mengingatnya. Namun aku hampir saja terkena serangan jantung karena nama arwah gentayangan yang muncul di cerita-cerita yang beredar keluar dari mulut Carlo.
“Sampai jumpa, Salma.”
Ya nama itu, Salma.