Aku ingat ketika aku membuatmu menangis pertama kali. Kala itu kamu menangis tanpa suara karena aku tanpa sengaja memecahkan patung bebekmu yang bentuknya tidak menyerupai bebek. Kamu berubah menjadi makhluk lucu dengan pipi merah, hidung, mata dan bibir bengkak. Pokoknya lucu sekali. Kamu membentakku, tapi tidak ada sumpah serapah atau kata-kata kasar yang keluar dari
Browsing category Flash Fiction
Seharusnya kau datang padaku sepuluh tahun yang lalu. Saat aku tersenyum malu-malu di barisan paling belakang dengan rok lipit bernoda kecap bekas makan tadi siang. Penuh harap senyum itu mengambang di udara. menunggu sambut dari ujung matamu untuk melirikku. Hanya ujung mata saja, karena aku tak mungkin meminta hatimu. Seharusnya kau datang padaku sepuluh
Tidak pernah terpikirkan olehku untuk berada di sini, bersamanya. Bukan berarti aku tidak menyukainya, sebaliknya malah. Hanya saja setelah apa yang terjadi beberapa tahun ke belakang, aku masih takjub dengan kehadirannya di sisiku. Dia bisa saja dengan mudah meninggalkanku, karena beberapa kali aku terjatuh, mengulang kesalahan yang sama, bahkan sempat terpikir untuk pergi darinya. Meninggalkannya
Seharusnya aku belajar menyerah seperti matahari. Dia yang tahu kapan harus muncul, kapan harus bersinar terik, dan yang paling penting, tahu kapan harus menyerah pada langit malam. Begitu seharusnya aku. Aku bisa saja berhenti menunggu saatnya kami bersama dan melanjutkan langkahku. Tapi aku malah menunggu di sini. Seperti dahulu aku menunggu di halte bus untuk
Aku duduk termenung menyaksikan air yang tumpah ruah dari langit. “Ah hujan turun lagi.” Tanpa kusadari kau datang dari belakang. Tanganmu memeluk pinggangku dan hembusan hangat terasa di leherku. Sudah lama kau tak memelukku seperti ini. Aku selalu suka hujan, mengingatkanku pada dirimu. Seperti hujan yang membuat suasana riuh menjadi senyap. Hanya terdengar desisan air