Ini kali ketiga aku berada di ruang ICU. Aku mulai terbiasa dengan bau obatnya, teriakan-teriakan keluarga yang kehilangan anggotanya atau jerit kesakitan pasien. Pemandangannya pun sudah aku hafal dengan baik, perawat-perawat berpakaian putih,dokter berpakaian jaga..ah semuanya menjadi biasa bagiku. Kamar isolasi ini juga mulai menjadi kamar keduaku. Terpisah dari pasien lain karena penyakitku merupakan penyakit
Browsing category Cerpen
Suara musik memekakan telinga, lampu-lampu bergemerlapan, dan tubuh kami yang bergerak terus menerus. Lelah kami hilang di bawah pengaruh kristal shabu dan alkohol. Kami bergerak mengikuti irama musik dan hentakannya yang keras. Kami di puncak dunia! Entah berapa lama kami berada di lantai dansa. Hanya menepi untuk meneguk sloki demi sloki minuman. “Hey,my Queen, i
Secangkir affogato yang kau pesan perlahan mulalo kehilangan bentuk. Kali ini alasannya bukan karena kau merasa sayang akan bentuknya yang indah. Sekarang affogato itu meleleh karena sejak tadi kau kehilangan seleramu. Satu hal yang jarang terjadi, dan itu semua gara-gara aku. Hari ini adalah hari yang telah kau rencanakan sejak seminggu lalu. Aku tahu sejak
Bulir-bulir hujan menjadi pemandangan di kaca bus yang membawaku pulang. Udara dingin menusuk terasa di leherku yang tidak terlindungi jaket. Di saku kiri, handphoneku bergetar menandakan sebuah sms masuk. Pasti ibuku. “Jadi pulang kan, nang? Sampe Bandung jam berapa?” Ibuku orang jawa tulen, masih memanggilku dengan sebutan anak lanang, anak lelaki. Aku membalas singkat pesan
suatu hari kau pernah bertanya padaku. di suatu malam ketika dingin mengigit dan hujan menyapa bumi. tidak ada bintang yang terlihat tapi itu tidak menyurutkan kita untuk nikmati malam di pinggir kolam, di belakang rumahku. kita duduk berdampingan. berbicara dan aku sesekali menyanyi pelan. aku tidak pernah berani menyanyi di depanmu, karena kau pasti bilang